I.
PENDAHULUAN
Rumah adat suku kajang
Suku Kajang adalah salah satu suku
yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun,
mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah
itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa. Di
Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang
Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara
suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di dusun Benteng inilah,
masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala aktifitasnya yang masih
terkait dengan adat istiadat. Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua
kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka
selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur,
masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan
para leluhur.
II.
PEMBAHASAN
Tipologi
bangunan
Gambar 1. Contoh bentuk bangunan rumah
suku adat kajang
Terbagi
dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang dianggap suci
biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale
Balla sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah
disebut Siring sebagai tempat
menenun kain atau sarung hitam (topeh le’leng) merupakan pakaian khas
masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang
terdiri dari kepala, badan, dan kaki. Pada bagian badan
(Kale
balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada bagian badan manusia
yakni berupa rak 60 cm
yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan
memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan
para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si
pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat. Para-para
ini difungsikan sebagai tempat menyimpan 16 peralatan dapur. Sedang langit-langit rumah (Kajang:
para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan seperti
padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka. Bagian paling atas
adalah merupakan penutup para/atap (Kajang: Ata’ ). Pada bagian muka dan
belakang dari atap ( ata ‟) ini terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan
belakang berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai penutup para untuk
melindungi bahan makanan dari tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil
sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada
Bola/Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas
yang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan Ammatoa
yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Untuk
rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang tidak lagi
ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun. Ini
ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun Bagian lain adalah tiang
pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada tubuh manusia dimana
nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh
karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan,
selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci).
Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan
syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya. Tiang
rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan aktivitas yang
dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di depan bagian
tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih
sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain pintu
dan jendala yang masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan
sistem geser (sliding door and sliding window).
Bentuk rumah adat suku
kajang sangat unik. Bangunan rumah khas Sulawesi selatan secara umum adalah
rumah panggung. Tapi suku kajang mempunyai keunikan bentuk rumah panggung
tersendiri yaitu dapurnya terltak di depan menghadap jalan utama. Ini
melambangkan kesederhanaan, dan mau menunjukan apa adanya. Mereka senantiasa
menyembunyikan rumah di balik hutan. Di dalam setiap rumah adat suku kajang,
tidak ada satupun peralatan rumah tanggga. Tidak ada kursi ataupun kasur.
Bahkan mereka tidak menggunakan satu barang elektronik pun. Mereka menganggap
modernitas dapat menjauhkan suku kajang dengan alam dan leluhurnya.
Filosofi dan
tradisi suku kajang
1.
Budaya
Kamase-masea Masyarakat Kajang
Masyarakat kajang memegang teguh budaya dan tradisi
dari nenek moyang mereka yang berupa hukum tidak tertulis dalam daerah tersebut
yang oleh masyarakat kajang disebut pappasang atau pasang (pesan, petuah).
Salah satu isi dari pappasang tersebut yaitu, kajang tanah yang sederhana (
tana kamase-masea) hal ini yang menyebabkan masyarakat kajang tidak menerima
adanya moderenisasi dan cenderung menolak perubahan karena mereka menganggap
hal itu sebagai kemegahan atau kemewahan dunia, termaksud program dan kebijakan
pemerintah yang dianggap mampu mengancam keberadaan mereka. Prinsip tersebut
mereka yakini sebagai jalan menuju hidup hakiki , berdasarkan isi dari
pappasang bahwa dengan hidup miskin di dunia akan mendapatkan ganjaran kekayaan
di akhirat. Masyarakat Kajang berpegang teguh pada prinsip kamase-masea dengan
sistem nilai lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sabbara (sabar), dan appisona
(pasrah) di dalamnya.nilai nilai yang ada pada budaya kamase-masea itulah yang
menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat kajang.
2.
Upacara
Rumatang Masyarakat Kajang
Upacara Rumatang merupakan upacara adat yang bertujuan
sebagai ungkapan rasa syukur, ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta yang
dipimpin langsung oleh pemimpin adat yang kerap disebut ammatoa. Persiapan
upacara dimulai pada pagi hari yang oleh kaum wanita dipersiapkan makanan khas
dan dipimpin oleh seorang wanita tua yang memberi petunjuk bahwa makanan apa
saja yang seharusnya disediakan. Nasi yang utama dipersiapkan harus dari beras
hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur
mereka. Dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan
yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas
yang sama sebagai simbol persaudaraan. Hal ini dilakukan pada saat makan siang
bersama sebelum dilaksanakannya upacara Rumatang. Ada juga delapan buah
sesaji yang disediakan berupa nasi empat warna, lauk pauk dan buah-buahan.
Sesaji ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin.
Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia
saja melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen
berhasil, juga ikut merasakan hasilnya. Salah satu contoh program pemerintah
adalah memberikan akses penerangan (listrik) di daerah ini, ditolak oleh komunitas
adat, sehingga sampai saat ini, daerah adat Kajang Ammatoa masih menggunakan. penerangan lampu tembok yang
dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai minyak tanah.
Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat,
penduduk tidak boleh memakai alas kaki, termasuk tamu yang datang dari luar,
karena itu merupakan suatu penghinaan. Atau jangan sekali-kali memakai pakaian
warna merah. Pakaian orang-orang Kajang adalah pakaian serba hitam, yang
ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai jutaan
rupiah.
Filosofi masyarakat kampung suku kajang
dalam bahasa kajang Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu
kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase yang
berarti berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana,
melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
Hubungan tipologi bangunan dengan filosofi hidup suku
kajang
Masyarakat Suku Kajang di Tana Toa
selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada
satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga
tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi.
Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para
leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang
dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk
menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat Suku Kajang
menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat pendidikan formal.
Tidak ada satupun warga suku Kajang yang mau untuk menuntut ilmu secara formal.
Namun seiring dengan pemikiran warga Suku Kajang yang semakin maju, semuanya
telah berubah sedikit demi sedikit. berikut penuturan dari Mansyur Embas. “Ini
dikarenakan dianggapnya mereka ini tabu untuk melakukan hubungan dengan dunia
luar bagi perempuan adat di dalam kawasan hidup Amatoa itu. Mungkin ada
beberapa unsur pengaruh negatif. Keluar, pengawasan sudah kurang. Pengawasan
keluarga sudah jarang. Atau mungkin karena pengaruh pergaulan yang mereka sama
sekali di awal kehidupannya belum pernah melihat tata cara seperti itu, mereka
langsung bisa terjerumus. Inilah yang mereka jaga. Tapi, kalau sekarang ini
sudah sedikit agak terbuka.
Kearifan
lokal dalam bangunan rumah adat suku kajang
1.
Interaksi
sosial
Menurut Soekanto (1990) interaksi
sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan
antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang
perorangan dengan kelompok manusia Hubungan antara individu komunitas ammatoa
dengan individu komunitas ammatoa lainnya di dalam kawasan adat sangat baik,
baik secara kuantitas maupun secara kualitas.
Hubungan kekeluargaan diantara sesama warga masih sangat kuat utamanya
yang berada di dalam kawasan adat ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya
saling kenal dalam satu kawasan adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan
dan nama panggilan masing-masing, pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga
(anak dan pengikut). Dengan keadaan ini maka interaksi sosial sangat sering dan
berlanjut antara individu satu dengan lainnya serta keluarga satu dengan
lainnya. Kolong rumah berperan besar dalam menjalin hubungan sosial antara
tetangga (keluarga majemuk) dan sesama keluarga inti.
2.
Gaya Hidup
Gaya hidup dapat didefenisikan sebagai cara hidup yang diikuti oleh
kelompok tertentu, melibatkan peran sosial mereka dan karakterisitik yang
tercermin dalam tingkah laku yang terkait dengan perannya di tempat tersebut
Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana aturan-aturan
yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan
attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah
yang sesuai dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas
ammatoa Kajang. Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup
berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada
akhirnya menghasilkan ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup
sederhana ini tercermin mulai dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara
menyambut tamu dan sampai pada bentuk dan tatanan ruang/hunian mereka.
III.
PENUTUP
KESIMPULAN
Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh
dengan kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya
mereka.Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat
kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau lembang ).
Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang
berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan
masyarakat kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini
sudah bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari luar.
DAFTAR
PUSTAKA
https://fhetanblog.wordpress.com/suku-kajang-di-bulukumba/(31/3/3015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar