Senin, 22 Juni 2015

budaya suku kajang



I.             PENDAHULUAN

a.   Suku kajang
           
Ada banyak keistimewaan Indonesia punya banyak Suku yang beragam, beruntung Indonesia adalah negara dengan multietnis. diantara banyaknya perubahan jaman saya salut dengan Suku yang punya pendirian teguh memegang tradisi nenek moyangnya, walaupun jaman cepat berubah mereka tidak lekang oleh jaman. Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa adalah sebuah suku yang terdapat pada kebudayaan sulawesi selatan. Masyarakat Kajang di bisa di jumpai pada Kabupaten Bulukumba lebih tepatnya kecamatan kajang. Sebuah Suku Klasik yang masihkental akan adat istiadatnya yang sangat sakral. Suku ini merupakan salah satu suku yang tetap mempertahankan kearifan lokal sampai saat ini. Suku ini terletak di Sulawesi Selatantepatnya sekitar 200 km arah timur Makassar.Desa suku Kajang yang utama adalah desa Tana Toa. Selebihnya, mereka tersebar didesa Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung, dan Tambangan.Suku ini mendiami sebuah kecataman yaitu Kecamatan Kajang, yang merupakanbagian dari kabupaten Bulukumba (daerah yang terkenal dengan pembuat perahu Finisidengan pelaut-pelaut ulung). Dikecamatan Kajang sendiri dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kajang luar (Lembang) dan Wilayah Kajang adat (Kawasan adat Amma Toa).
 Dalam memegang tampuk kepemimpinan ini Ammatowa memilih lima orang pemukaadat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kelima pemimpin tersebut diangkat olehAmmatowa dengan suatu perjanjian, di saat alam tidak bersahabat seperti matinya tanamandan hewan atau bencana alam, kelima pemuka adat harus rela melepas jabatannya.Suku ini berprinsip bahwa, daerah Kajang adalah daerah “kamase-masea . Bahkan,salah satu contoh program pemerintah adalahmemberikan akses penerangan (listrik) di daerah ini, di tolak oleh komunitas adat, sehinggasampai saat ini, daerah adat Kajang Ammatoa masih menggunakan penerangan lamputembok yang dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat,penduduk tidak boleh memakai alas kaki, termasuk tamu yang datang dari luar. Masih berlakunya hukum peninggalan leluhur ini membuat Kawasan Adat Ammatowatidak pernah berubah sejak pertama kali didirikan.Jalan tanah sepanjang 5 kilometer menuju desa masih tetap bertahan tanpa perubahan yang berarti.Bahkan rumah-rumahadat yang terbuat dari kayu masih berdiri tegak dengan arah membelakangi hutan adat. Ruang tambahan yang terletak dibelakang rumah juga masih ada sebagai simbol memilikianak gadis.Asrinya suasana di kawasan adat initercipta karena pemimpin adat atau Ammatowa yang dibantu lima pemukaadat, secara keras menjalankanperaturan adat. Bahkan kerasnya Ammatowa dalam menjalankanperaturan ini dapat dilihat dari rumahmilik orang yang dianggap suci tersebut. Rumah pemimpin adat merupakan rumah terjelek. Dindingnya hanyaterbuat dari bambu. Sedangkan lima pemuka adat lainnya memiliki rumah lebih baik dariAmmatowa. Namun dalam melaksanakan kepemimpinannya, lima pemimpin adat inidikenakan kontrak sosial. Mereka dapat dihentikan dari jabatannya jika berbuat kesalahan yang dapat dilihat dari gejala alam.Di bawah kepemimpinan Ammatowa dan kelima pemuka adat, kebiasaan-kebiasaanleluhur tetap dijalankan. Justru dengan kebiasaan ini swasembada segala faktor kehidupan dapat terus berjalan.Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kaindan memasak.Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuatperlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini jugamerupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga.Luasnya sawah milik warga Suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggalmerupakan suatu anugrah tersendiri. Dengan luasnya sawah yang menghasilkan berton-ton padi setiap tahun,
 Warga suku Kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan. Anugrahini sangat disyukuri oleh segenap warga.Sumber dari segala kegiatan ataUpola hidup atau hokum adat bersumber                                                                                                       dari “pappasang”(semacam undang-undang yang dihafalkan dengan lisan secara turuntemurun). Hukum “Pappasang” merupakan semacam hukum tidak tertulis yang tidak bolehdilanggar. Siapa yang melanggar akan kena “pangellai”,teguran atau hukuman.
Perlu di ketahui, Kajang di bagi dua secara geografis,yaitu;
1.    kajang dalam (suku kajang, mereka di sebut“tau Kajang”)
2.    kajang luar (orang-orang yang berdiam disekitar suku kajang yang relatif lebih modern, mereka di sebut “tau Lembang” ).
Bukan hanya listrik yang dilarang masuk di suku Kajang, tetapi segala sesuatu yangdianggap melanggar “pappasang, Kajang, tana kamase - masea”.
Contoh lainnya adalah pembangunan jalan raya, kendaraan, sekolah, bahkan cara berpakain sekalipun. Memasukikompleks adat, anda akan dilarang untuk memakai pakaian yang mencolak, yangmencerminkan kemewahan, yang akan di kenakan sanksi adat ataupun tidak dibiarkanmasuk ke kompleks adat.Melihat keadaan alam suku Kajang, masih sangat asli. Di dalam kompleks adat adasebuah hutan, dimana masyarakat di larang mengambil kayunya, walau itu hanya untuk kayu bakar sekalipun, yaitu hutan “Karanjang”. 

II.               SEJARAH SUKU KAJANG
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj33ThyphenhyphenoaybwFS6JEy_QKNSaaeRT1_cM2Bv1rPsbUnHB9GKKRfeSiZMEJXYNljOd_dp8_tE4oAjBMbvyUFfKGq8MRDRKMOVQRN7SK5fi4_3uo7FHn3r_p8GSdwrFO9lPyItc3HU5BOgZDI/s320/kajang+2.jpg








Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran. Ajaran Patuntung mengajarkan—jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Tuhan dan Nenek moyang (Turiek Akrakna). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Turiek Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki Yang artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh. Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan, dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai antara Turiek Akrakna dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi  adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Akrakna atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Kajang atau burung gagak yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang) yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam kehidupan  sehari-hari, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka.

III.          TRADISI SUKU KAJANG
Setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa.Di sawah milik Ammatowa ini persiapan upacara Rumatang mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik Ammatowa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama. Persiapan di tepi sawah ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang telah mengetahui jenis makanan yang harusdipersiapkan untuk sesaji. Dibawah petunjuknya, kaum wanita mulai memasak berbagai jenis makanan, termasuk nasi dengan empat warna.Di saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria juga mulai mengikat padi hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai diikat, padi hasil panen ini dijemur di bawah terik matahari.Tengah hari, merupakan pertanda upacara harus dilangsungkan. Sebelum memulai upacara puncak, warga Suku Kajang berkumpul dibawah bilik untuk makan siang bersama.  Uniknya makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu. Nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminumsejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo".  Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan.Usai makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa padi yang telah diikat menuju ke desamereka. Padi mereka bawa dengan menggunakan sebilah kayu. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah dengan menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Namun beban berat dan berjalan jauh tidak mereka rasakan karena rasa senangakan hasil panen yang berlimpah 
i.            Pakaian Adat
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Pakaian mereka adalah pakaian yang ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai jutaan rupiah.Pos ini juga merupakan simbol mulai berlakunya hukum adat Masyarakat Kajang. Hukum adat ini berpedoman pada kitab wasiat Masyarakat Kajang yang masih dipegang teguh. Sehingga segala macam bentuk peradaban diluar kawasan tidak akan pernah mereka terima. Menurut kepala desa, salah satu kebiasaan yang harus dijalankan adalah kewajibanseorang wanita membuat pakaian untuk anggota keluarganya. Membuat pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat melangsungkan  pernikahan. Sehingga dalam kehidupannya wanita tanpa keahlian membuat pakaian, tidak dapat menikah. Pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional, mulai dari pembuatanbenang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar kain.
ii.             Tarian Daerah
Tarian Komunitas Kajang, adapun tarian yang dibawakan adalah “Pabatte Passapu”atau “Sabung ayam” Tatian tersebut mengalir begitu saja, tanpa latihan apalagi gladiresik Pabbatte Passapu menceritakan sabung ayam yang diperagakan dengan passapu (destar atau ikat kepala). Dua orang penari pria berpakaian serba hitam bergerak-gerak seperti seekor ayam jago.Tangan keduanya mengibas-ngibaskan destar hitam. Sebentar-sebentar, mereka beradu destar,menggambarkan dua jago sedang bertarung.
iii.            Alat Musik Daerah
Mereka tampil begitu alami dan sangat bersahaja. Begitu pula musik yangmengiringi, hanya menggunakan sebuah gendang kecil dan kunru-kunru. Yang terakhir ini alat musik tiup khas Kajang, terbuat dari batang padi atau bambu kecil.Biasanya, alat musik itu dimainkan penggembala kerbau. Yang sangat memikat,sepanjang pertunjukan Pabbatte passapu sekitar 20 menit, kunru-kunru terus melengking tiada henti.
iv.           Bahasa Daerah
Dalam bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku kajang.
v.            Agama
Agama mereka adalah Islam, dan akan marah jika dikatakan bukan orang Islam.Tapi jika dilihat lebih dalam, orang-orang Kajang masih menganut animisme, dinamisme ataupun totemisme. Sumbernya adalah “patuntung ”, sehingga ada yang mengatakan bahwa agama orang Kajang adalah agama “Patuntung”. Agama patuntung adalahsemacam upacara adat, dan sangat kelihatan pada acara-acara kematian. 


IV.         PENUTUP

Kesimpulan :
          Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya mereka.Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan masyarakat kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari luar. Dengan demikian apa yg baik yg harus kita buat adalah dengan meniru apa yg baik dari suku kajang ini. Bagaimana cara kita mengaplikasikan sesuatu yg baik dengan kesederhanaan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar pustaka :
http://gowata.blogspot.com/2009/04/suku-kajang-di-kab-bulukumba.html 
http://www.indosiar.com/ragam/kajang--potret-suku-terasing_39110.html 
http://etnofilm.wordpress.com/2008/05/06/ammatoa-suku-kajang.
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11951486.
http://www.psychologymania.com/2011/08/suku-kajang-menjaga-tradisi-dan.html
http://syaifulafdhal.blogspot.com/2013/09/selaras-dengan-alam-sebagai-kosmologi.html
http://www.alambudaya.com/2014/10/suku-kajang-yang-masih-memegang-teguh.html






RUMAH ADAT SUKU KAJANG



I.                  PENDAHULUAN

Rumah adat suku kajang
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa. Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat. Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
II.               PEMBAHASAN
Tipologi bangunan
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIBwFfewvLjePuZPUAZQcnM32Y7YdZbf-wrwJmVrTD8zMUd4qAt8bsZ21eRyFr0D3PEjDa-O9rNY-S-TlCFulon2X-5oUyYGpK0YT3EJGGPgXMRY90dF4ls0wczgOwRaOcaTxPwRtEuX8/s1600/ADAT-Kajang1-Rumah-masyarakat-adat-Kajang.jpg





Gambar 1. Contoh bentuk bangunan rumah suku adat kajang



Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale Balla sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki. Pada bagian badan
(Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada bagian badan manusia yakni berupa rak 60 cm yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan  para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan 16 peralatan dapur. Sedang langit-langit rumah (Kajang:  para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan seperti padi dan  juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka. Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Kajang:  Ata’  ). Pada bagian muka dan belakang dari atap ( ata ‟) ini terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan belakang berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan makanan dari tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas yang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan  Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun. Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya. Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain pintu dan jendala yang masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan sistem geser (sliding door and sliding window).

            Bentuk rumah adat suku kajang sangat unik. Bangunan rumah khas Sulawesi selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku kajang mempunyai keunikan bentuk rumah panggung tersendiri yaitu dapurnya terltak di depan menghadap jalan utama. Ini melambangkan kesederhanaan, dan mau menunjukan apa adanya. Mereka senantiasa menyembunyikan rumah di balik hutan. Di dalam setiap rumah adat suku kajang, tidak ada satupun peralatan rumah tanggga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Bahkan mereka tidak menggunakan satu barang elektronik pun. Mereka menganggap modernitas dapat menjauhkan suku kajang dengan alam dan leluhurnya.
Filosofi dan tradisi suku kajang
1.      Budaya Kamase-masea Masyarakat Kajang
Masyarakat kajang memegang teguh budaya dan tradisi dari nenek moyang mereka yang berupa hukum tidak tertulis dalam daerah tersebut yang oleh masyarakat kajang disebut pappasang atau pasang (pesan, petuah). Salah satu isi dari pappasang tersebut yaitu, kajang tanah yang sederhana ( tana kamase-masea) hal ini yang menyebabkan masyarakat kajang tidak menerima adanya moderenisasi dan cenderung menolak perubahan karena mereka menganggap hal itu sebagai kemegahan atau kemewahan dunia, termaksud program dan kebijakan pemerintah yang dianggap mampu mengancam keberadaan mereka. Prinsip tersebut mereka yakini sebagai jalan menuju hidup hakiki , berdasarkan isi dari pappasang bahwa dengan hidup miskin di dunia akan mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat. Masyarakat Kajang berpegang teguh pada prinsip kamase-masea dengan sistem nilai lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sabbara (sabar), dan appisona (pasrah) di dalamnya.nilai nilai yang ada pada budaya kamase-masea itulah yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat kajang.

2.      Upacara Rumatang Masyarakat Kajang

Upacara Rumatang merupakan upacara adat yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur, ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta yang dipimpin langsung oleh pemimpin adat yang kerap disebut ammatoa. Persiapan upacara dimulai pada pagi hari yang oleh kaum wanita dipersiapkan makanan khas dan dipimpin oleh seorang wanita tua yang memberi petunjuk bahwa makanan apa saja yang seharusnya disediakan. Nasi yang utama dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena  jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan. Hal ini dilakukan pada saat makan siang bersama sebelum dilaksanakannya upacara Rumatang.  Ada juga delapan buah sesaji yang disediakan berupa nasi empat warna, lauk pauk dan buah-buahan. Sesaji ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin. Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut merasakan hasilnya. Salah satu contoh program pemerintah adalah memberikan akses penerangan (listrik) di daerah ini, ditolak oleh komunitas adat, sehingga sampai saat ini, daerah adat Kajang Ammatoa masih menggunakan. penerangan lampu tembok yang dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat, penduduk tidak boleh memakai alas kaki, termasuk tamu yang datang dari luar, karena itu merupakan suatu penghinaan. Atau jangan sekali-kali memakai pakaian warna merah. Pakaian orang-orang Kajang adalah pakaian serba hitam, yang ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai  jutaan rupiah.
Filosofi masyarakat kampung suku kajang dalam bahasa kajang Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase yang berarti berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau  sederhana.

Hubungan tipologi bangunan dengan filosofi hidup suku kajang
            Masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat Suku Kajang menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat pendidikan formal. Tidak ada satupun warga suku Kajang yang mau untuk menuntut ilmu secara formal. Namun seiring dengan pemikiran warga Suku Kajang yang semakin maju, semuanya telah berubah sedikit demi sedikit. berikut penuturan dari Mansyur Embas. “Ini dikarenakan dianggapnya mereka ini tabu untuk melakukan hubungan dengan dunia luar bagi perempuan adat di dalam kawasan hidup Amatoa itu. Mungkin ada beberapa unsur pengaruh negatif. Keluar, pengawasan sudah kurang. Pengawasan keluarga sudah jarang. Atau mungkin karena pengaruh pergaulan yang mereka sama sekali di awal kehidupannya belum pernah melihat tata cara seperti itu, mereka langsung bisa terjerumus. Inilah yang mereka jaga. Tapi, kalau sekarang ini sudah sedikit agak terbuka.






Kearifan lokal dalam bangunan rumah adat suku kajang
1.      Interaksi sosial
Menurut Soekanto (1990) interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang perorangan dengan kelompok manusia Hubungan antara individu komunitas ammatoa dengan individu komunitas ammatoa lainnya di dalam kawasan adat sangat baik, baik secara kuantitas maupun secara kualitas.  Hubungan kekeluargaan diantara sesama warga masih sangat kuat utamanya yang berada di dalam kawasan adat ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya saling kenal dalam satu kawasan adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan dan nama panggilan masing-masing, pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga (anak dan pengikut). Dengan keadaan ini maka interaksi sosial sangat sering dan berlanjut antara individu satu dengan lainnya serta keluarga satu dengan lainnya. Kolong rumah berperan besar dalam menjalin hubungan sosial antara tetangga (keluarga majemuk) dan sesama keluarga inti.
2.      Gaya Hidup
Gaya hidup dapat didefenisikan sebagai cara hidup yang diikuti oleh kelompok tertentu, melibatkan peran sosial mereka dan karakterisitik yang tercermin dalam tingkah laku yang terkait dengan perannya di tempat tersebut Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang. Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk dan tatanan ruang/hunian mereka.  
       
III.           PENUTUP
KESIMPULAN
            Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya mereka.Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan masyarakat kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari luar.

DAFTAR PUSTAKA
https://fhetanblog.wordpress.com/suku-kajang-di-bulukumba/(31/3/3015)